Kesehatan Mental Generasi Z
Apa itu kesehatan mental? Kesehatan mental
bukan hanya tentang gangguan mental saja, tetapi kesehatan mental itu di lihat
sebagai sebuah kontinum. Karena bentuknya kontinum, otomatis tidak akan bisa
mengatakan bahwa seseorang itu sakit mental atau sehat mental secara paten.
Mental seseorang tidak bisa tetap pada
satu posisi, bisa naik kadang bisa turun dalam waktu hitungan jam atau hari
saja. Maka dari itu, dalam psikologi tidak menamakan gangguan sebagai penyakit,
jadi tidak ada istilah penyakit mental yang ada hanya gangguan mental atau
gangguan jiwa.
Bagaimana cara
menentukan posisi mental kita? Yang pertama, harus mengetahui kesehatan mental
itu apa. Menurut WHO (World Health
Organization), kesehatan mental adalah kondisi dimana seseorang menyadari
apa pontensi dirinya, bisa mengahadapi setres sehari-hari, bisa bekerja secara
produktif, dan menghasilkan kontribusi yang baik ke masyarakat. Jadi, untuk
mengetahui posisi kesehatan mental, bisa di lihat dari indikator-indikatornya,
tetapi seseorang tidak bisa menempatkan kesehatan mentalnya secara
kuantitatif.
Seseorang mengalami
hal-hal yang mengganggu kesehatan mental bisa disebabkan oleh terkena bencana
atau musibah. Contohnya, saat ada kerabat yang meninggal atau sedang mengalami
putus cinta bisa juga tidak lolos seleksi masuk perguruan tinggi yang
diinginkan dan ini bisa memengaruhi kondisi mental seseorang. Apabila seseorang
berada dalam kondisi tersebut, kemungkinan besar orang itu mengalami kesedihan
dan berada di posisi kesehatan mental yang menurun. Hal ini meyebabkan
seseorang tidak akan bisa bekerja secara
produktif dan akan merasa lebih sensitife dibandingkan biasanya. Kondisi
tersebut normal saat seseorang berada pada posisi kesehatan mental yang
menurun. Tetapi, stigma masyarakat tentang penurunan kondisi mental seseorang
masih menganggap bahwa orang itu lemah dan tidak bisa menerima keadaan. Padahal,
ini adalah kondisi yang wajar.
Selain hal diatas,
seseorang bisa berada pada kondisi kesehatan mental yang menurun berarti orang
tersebut sedang mengalami gangguang mental. Seperti, mengalami depresi,
gangguang kecemasan, bipolar,dsb. Bagaimana seseorang bisa mengetahui dirinya
sedang mengalami gangguan mental atau tidak? Masyarakat biasanya ingin
mengetahui kondisi mentalnya dengan melakukan pencarian di internet, sebenarnya
ini tidak masalah agar bisa tahu tentang kondisi kesehatan mentalnya seperti
apa. Tetapi, tidak jarang hasil dari pencarian diagnosis di internet tentang
kesehatan mental seseorang itu salah. Maka dari itu, untuk mengetahui bagaimana
kondisi kesehatan mental harus dating ke ahlinya, karena hanya ahlinya lah yang
bisa mendiagnosis kesehatan mental seseorang. Siapa ahlinya? Ahli kesehatan
mental yang bisa mendiagnosis, secara umum ada dua, yaitu psikiater dan
psikolog. Jadi, jika ingin mengetahi kondisi kesehatan mental, konsultasikan ke
psikiater dan psikolog. Mereka mendiagnosis kesehatan mental seseorang bisa
berdasarkan wawancara yang mendalam, kuesioner, tes psikologi, tanya kepada
orang terdekat, dsb. Banyak cara dari psikiater atau psikolog untuk mendapatkan
data agar mereka bisa mendiagnosis kondisi kesehatan mental seseorang.
Diagnosis para ahli ini berpedoman pada suatu kitab yaitu DSM (Diagnosis
Statistik Manual) dibuat oleh APA(American Psychological Asosiation), ICD
(International Classification of Diseases)
dibuat oleh WHO (World Health
Organization), dan PPDGJ (Pedoman Penggolongan Diaognosis Gangguan Jiwa)
buatan Indonesia.
Menurut
penelitian American Psychological Association (APA) tahun
2018 berjudul “Stress in America: Generation Z”, anak muda usia
15 sampai 21 tahun adalah kelompok manusia dengan kondisi kesehatan mental
terburuk dibandingkan dengan generasi-generasi lainnya. Mereka adalah generasi
Z, atau yang diartikan Taylor & Keeter (2010) sebagai orang-orang yang
lahir pada tahun 1993 sampai tahun 2005. Adapun dari lima kelompok generasi
lainnya yaitu silent generation, baby boomers, generation X, dan millennials, generasi
Z merupakan golongan termuda. Penelitian yang dilakukan APA tersebut melibatkan
wawancara dengan 3500 terwawancara berumur 18 tahun ke atas, dan 300 wawancara
dengan terwawancara usia 15 sampai 17 tahun.
Menurut penelitian APA
tersebut, diperoleh hasil bahwa sebanyak 91% generasi Z mempunyai gejala-gejala
emosional maupun fisik yang berkaitan dengan stres, seperti depresi dan
gangguan kecemasan. Stres adalah faktor terbesar penyebab buruknya kesehatan
mental generasi Z. Stres yang dialami banyak orang dalam generasi Z disebabkan
oleh beberapa hal. Peningkatan angka bunuh diri, peningkatan laporan terhadap
kasus kekerasan dan pelecehan seksual, hingga pemanasan global dan perubahan
iklim adalah beberapa faktor pemicu stres generasi Z. Isu-isu tersebut bisa
menjadi persoalan tersendiri bagi individu-individu dalam generasi Z akibat
tingginya aksesibilitas informasi bagi generasi Z.
Selain generasi Z, tidak ada
satu generasi pun yang tinggal di era dimana mereka bisa dengan mudah
bersentuhan akrab dengan teknologi pada usia yang sangat muda (Prensky, 2001).
Hal itu menyebabkan berinteraksi di dunia yang terkoneksi sepanjang waktu
adalah hal yang sangat biasa dan familiar untuk generasi Z.
Keakraban generasi Z dengan
teknologi bukan semata-mata implikasi dari kemajuan zaman, tetapi juga
mempengaruhi aspek psikologis dan behavioralnya. Menurut Toronto (2009),
terdapat kecenderungan generasi Z memanfaatkan tekonologi untuk menghindari
perjuangan di kehidupan offline mereka dan untuk menemukan
kenyamanan (berbaur) dengan melarikan diri dan berfantasi untuk mengisi waktu maupun
kekosongan emosional. Ternyata, generasi ini memanfaatkan dunia virtual sebagai
tempat “pelarian” dari kehidupan nyata. Sayangnya, internet bisa membuat
kondisi kesehatan mental generasi Z menjadi lebih buruk.
Menurut Anthony (Turner,
Anthony. 2015. Generation Z: Technology and Social Interest. University
of Texas Press: Texas), banyak terdapat situs-situs yang menampilkan self-harm dan
mengajarkan orang untuk membuat senjata yang dapat dengan mudah diakses. Hal
itu bisa mendorong anak muda membentuk perilaku sesuai apa yang ia simak di
internet.
Bukan hanya stres, hasil lain
dari keakraban generasi Z dengan teknologi adalah terganggunya kondisi
psikologis. Generasi Z akrab dengan video games, permainan
berbasis gadget dan internet yang menjadi sumber hiburan
bagi banyak orang.
Padahal, menurut Weinstein (2010), banyak bermain video games bisa menyebabkan ketidak mampuan untuk mengatur rasa frustasi, rasa takut, kegelisahan, dan menurunnya nilai di sekolah. Sementara itu, bermain video games secara berlebihan, disampaikan Van Rooij, Meerkerk, Schoenmakers, Griffiths, & Van De Mheen (2010) dapat berdampak pada keridakmampuan untuk menyelesaikan masalah dalam memenuhi cinta, pekerjaan, dan persahabatan.
Kecenderungan-kecenderungan psikologis tersebut bisa berdampak buruk pada kehidupan sosial generasi Z. Kemampuan penyelesaian masalah dan hubungan dengan manusia-manusia lain adalah hal penting yang harus dihadapi manusia dalam sepanjang hidupnya. Bila generasi Z tak menguasai hal-hal itu, lantas bagaimana mereka bisa melanjutkan hidup di dunia nyata?
Solusinya untuk gangguan
kesehatan mental bagi generasi Z adalah dengan melakukan pengobatan. Pau
Gionfriddo, Pesident dan CEO Mental Health America mengatakan
pengobatan depresi bisa berupa konseling, mendatangi psikologi, meditasi, atau
melakukan hal-hal yang menenagkan jiwa.
Informasinya sangat luar biasa. Cocok banget dibaca untuk para generasi Z saat ini untuk menambah wawasan tentang kesehatan mental👍👍
BalasHapusinformatif sekale
BalasHapusBagus nih artikenya nambah wawasan juga thanks
BalasHapusGood👍
BalasHapusinformatiff bgttt💓💓
BalasHapusWoww
BalasHapus